Sungguh, Ini Hanya Cerita Fiksi

#Monologlinimasa
5 min readMar 9, 2021

--

“Teruntuk kamu yang kerap merampas hak orang lain, kepadamulah akan ditimpakan kehilangan yang berlipat-lipat banyaknya. Kehilangan yang lantaran kebebalanmu hanya akan kamu anggap sebagai sebentuk kesialan, meski nyatanya karma buruk tengah mengintip dan siap menerkammu bulat-bulat dalam bentuk kemalangan-kemalangan lainnya.”

Rekening Fernando

Alkisah tersebutlah sebuah yayasan yang pada cerita fiksi kali ini akan kita sebut Fondesyen. Fondesyen ini konon kabarnya mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dengan segala macam program-program yang diciptakan sedemikian rupa. Entah bagaimana caranya, si Fondesyen berupaya menghimpun dana yang lantas dijadikan sebagai bahan bakar untuk (katanya) miriwit lingkingin hidip.

Fondesyen tersebut mempekerjakan seorang mahasiswa semester akhir yang dalam cerita fiksi ini akan kita panggil sebagai Fernando. Keputusan Fernando untuk bekerja di Fondesyen sebetulnya adalah bentuk upayanya untuk mengembangkan diri. Terlebih Fernando cukup sadar, mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Jadi, ketika pemilik Fondesyen meminta bantuan Fernando agar mau turut berkontribusi bagi perusahaan, Ia tidak menolak.

Seperti karyawan pada umumnya, Fernando disodori sebuah kontrak kerja untuk menandai bahwa Ia adalah pegawhy resmi di Fondesyen tersebut. Yang Ia ingat, dalam kontrak kerja tertulis bahwa Fernando harus bekerja selama sekian jam per bulan dengan gaji yang menurutnya sepadan. Fernando merasa tidak masalah, toh Ia juga tengah jenuh dengan tugas akhirnya.

Selama bekerja di Fondesyen, Fernando senantiasa berusaha untuk mengikuti segala macam arahan dari atasannya. Fernando cukup paham bahwa yayasan tempatnya bekerja ini masih seumur jagung sehingga masih perlu penyesuaian di sana-sini. Masalah dimulai ketika Fernando menyadari bahwa atasannya merupakan bagian dari Sekte Penyembah Tandon Air Oranye. Meski perihal keyakinan absurd semacam itu sebetulnya bukan urusan Fernando, Ia merasa gerah karena masyarakat yang dijadikan sasaran program-program besutan Fondesyen turut diupayakan agar ikut menyembah Sang Tandon Air Oranye.

Sederhananya, atasan Fernando senantiasa mengupayakan agar pada masing-masing rumah warga dibangun Tandon Air Suci dengan warna oranye. Padahal, beberapa rumah warga sudah memiliki tandon air warna biru tua. Harga Tandon Air Suci warna Oranye ini pun terbilang tidak masuk akal mengingat posisinya sebagai berhala yang disembah penganutnya. Mencapai dua atau tiga kali lipat tandon air warna biru tua.

Pada suatu ketika, Fernando tidak sengajamendengar perdebatan yang terjadi antara atasannya dengan seorang karyawan senior. Perdebatan ini terjadi di ruangan sang atasan, ketika sudah waktunya jam pulang kantor. Ketika itu, Fernando memang sudah pamit untuk pulang, namun ternyata ada barang yang tertinggal di meja kerjanya.

“Aku rasa kita harus mencari dana tambahan agar bisa membangun Tandon Air Suci warna Oranye lebih banyak,” kata si atasan, berusaha berbisik namun masih sayup terdengar.

“Masih butuh berapa banyak lagi? Kita sudah cukup banyak mark up laporan dari donatur. Mau cari uang dari mana? Aku tidak mau gajiku dipotong untuk itu,” balas si karyawan senior.

Si atasan dan karyawan senior sama-sama terdiam, sementara Fernando masih berupaya mencerna apa yang barusan Ia dengar.

“Bagaimana kalau kita pikirkan besok saja?” usul si atasan

“Mungkin lebih baik begitu. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaan hari ini. Lagipula, aku harus memberi makan ular peliharaanku,”

Mendengar hal tersebut, Fernando tersadar. Ia buru-buru mengambil barangnya yang tertinggal dan bergegas menuju parkiran karena tak ingin atasannya tahu bahwa Ia mencuri dengar.

Hari ini tepat satu bulan dari tanggal yang tertera pada kontrak kerja antara Fernando dan Fondesyen. Singkatnya, hari ini harusnya Fernando menerima gaji pertamanya sebagai karyawan di Fondesyen. Terbayang sudah nominal uang yang akan ia gunakan untuk membayar biaya listrik rumah kontrakannya serta biaya hidup sehari-hari. Maklum, jarak antara rumah Fernando dengan kantor cukup jauh sehingga perlu biaya lebih untuk membeli pertamax. Fernando juga telah berencana untuk mengganti sepatunya yang sudah usang dan berlubang.

Berangkatlah Fernando ke kantor Fondesyen dengan wajah cerah, cukup kontras dengan mendung pagi yang menggantung sejak dini hari. Baru separuh jalan, sepeda motor yang ditungganginya tersendat. Mesinnya mati di tengah jalan. Rupa-rupanya ia kehabisan bahan bakar. Mau tak mau, Fernando harus menuntun sepeda motornya untuk menemukan penjual bensin terdekat. Tidak harus pertamax, tak apalah. Toh sesudah gajian nanti, Fernando akan langsung mengisi penuh tangki motornya. Untung saja cuaca tidak sedang terik sehingga paling tidak Ia tidak kegerahan.

Usai menuntun motornya selama sekitar sepuluh menit, Fernando melihat pedagang bensin eceran di seberang jalan. Ia kemudian bergegas menyeberang jalan yang cukup ramai karena memang banyak orang tengah berangkat kerja atau pergi ke sekolah. Di depan pedagang bensis eceran, Fernando membuka dompetnya. Lumayan, ada dua puluh ribu. Masih cukup untuk sekadar membeli bensin agar dapat tiba di kantor.

Tanpa pikir panjang, Fernando mengisi tangki motornya yang kering dengan satu liter bensin seadanya, kemudian mengulurkan selembar dua puluh ribunya kepada si pedagang. Si penjual memberikan kembalian sebesar lima ribu. Kembalian ini rencananya akan digunakan Fernando untuk sekadar membeli gorengan untuk sarapan di kantor Fondesyen. Kebetulan, Fernando memang punya Warmindo langganan yang lokasinya tidak jauh dari kantornya.

Fernando lantas menlanjutkan perjalanan, tentu tidak lupa membeli gorengan yang akan dibaginya dengan teman sekantornya. Anggap saja sebagai sedikit tanda permintaan maaf akibat datang agak terlambat. Lagipula, Fernando punya alasan yang jelas akan keterlambatannya. Atasannya tentu akan maklum, setidaknya demikian perkiraan Fernando.

Setibanya di kantor, Fernando bersiap untuk bekerja seperti biasa. Kantornya tampak sepi, tidak ada atasannya atau si karyawan senior. Fernando mengirim pesan ke grup chat Fondesyen dan memutuskan membuka laptopnya mengingat masih banyak hal yang perlu dikerjakan. Hari ini Ia harus mendata segala macam aset yang dimiliki oleh Fondesyen serta membuat laporan keuangan. Ia pun kemudian tenggelam pada pekerjaannya hingga jam makan siang.

Si atasan dan karyawan senior belum juga menampakkan batang hidung mereka. Grup chat Fondesyen masih sepi, tidak ada satupun informasi mengenai keberadaan si atasan maupun si karyawan senior. Karena memang sudah waktunya untuk istirahat, Fernando memutuskan beristirahat dan menyantap sisa gorengan tadi pagi untuk makan siang. Ia lantas menelepon atasannya, sekaligus ingin mengingatkan bahwa hari ini adalah hari gajian.

“Halo, Pak? Ini saya sudah di kantor dari tadi pagi. Kenapa sepi, ya?”

“Halooo Fernando~ Duh, aku lupa bilang ya. Hari ini harusnya kamu tidak perlu masuk kantor. Aku ada meeting dadakan sampai sore. Kalau kamu mau pulang cepat, silakan saja,” ujar si atasan tanpa mengucap maaf.

Fernando tidak tahu harus merespons apa. Apakah atasannya lupa bahwa hari ini adalah hari gajian? Apakah atasannya sebegitu sibuknya sampai tidak sempat memberi informasi kalau kantor libur? Bukankah kalau kantor libur, berarti Fernando tidak bisa gajian? Sialnya, Fernando baru ingat kalau hari ini adalah hari Jumat, yang artinya mungkin Ia tidak akan menerima gaji sampai Senin.

“Helooo, Fernando. Udah dulu, yah. Masih ada urusan nih,” si atasan menngakhiri panggilan.

--

--